Menurut pengertian para ulama , Ushul Fiqh adalah : “ Ilmu yang membahas tentang dalil- dalil fiqh secara global, tentang metodologi penggunaannya serta membahas tentang kondisi orang-orang yang menggunakannya . “
Dari pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa Ilmu Ushul Fiqh mempunyai tiga bidang garapan :
1. Dalil- dalil fiqh secara global ( Reverensi Penelitian )
2. Metodologi penggunaan dalil- dalil tersebut. ( Metodologi Penelitian )
3. Kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut, yaitu para mujtahid . ( Syarat-syarat Peneliti )
Kalau kita perhatikan secara seksama tiga bidang garapan tersebut, ternyata sesuai dengan kriteria yang ditawarkan oleh berbagai Lembaga Penelitian yang sedang merebak akhir-akhir ini . Hal ini menunjukkan bahwa para ulama Islam, jauh-jauh sebelumnya telah menyusun kajian yang sangat mendetail dan sistematis. Penelitian apapun, tidak bisa dipisahkan dengan tiga unsur di atas. Tak ayal, kalau sebagian ulama kontemporer menjadikan manhaj ushul fiqh sebagai pijakan di dalam menentukan manhaj-manhaj bagi disiplin keilmuan lainnya .
fiqh di atas adalah sebagai berikut :
( Ilmu yang membahas dalil- dalil fiqh secara global )
Ilmu Ushul Fiqh ini hanya membahas dalil-dalil fiqh secara global, seperti Al Qur’an dan Sunnah dengan berbagai permasalahan yang menyangkut dengan kedua sumber tersebut seperti : Al ‘Am, Al Khos, Al Mutlaq, Al Muqayad, Al Mujmal, Al Mubayin, Al Hakikah , Al Majaz dan lain-lainnya . Selain itu, ilmu ini juga membahas tentang Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama, yaitu Qaul Shohabi , Al Istishab, Al Istihsan, Sadd al-Dzara’idan Al Masholih al-Mursalah.
Adapun Ilmu Fiqh pembahasannya terfokus pada dalil-dalil syar’i secara lebih terperinci , seperti : kewajiban berniat ketika hendak berwudlu, dengan menggunakan dalil firman Allah swt :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
“ apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. “ ( Qs Al Maidah : 6 )
(Apabila kamu hendak ) menunjukkan bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :
إنما الأعمال بالنيات
“ Hanyasanya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat. “ ( HR Bukhari no : 1, Muslim no : 4844 )
Selain membahas dalil- dalil secara global, Ilmu Ushul Fiqh juga membahas tata cara penggunaan dalil- dalil tersebut.
Tata cara penggunaan dalil – dalil syar’I, bisa dibagi menjadi dua bagian :
Bagian pertama ; Yang bersifat “ Al lafdhi “ ( tekstual) , yaitu tata cara penggunaan dalil-dalil syar’I yang terkait dengan teks –teks Al Qur’an dan Sunnah . Tata cara ini bisa juga disebut dengan “ Al Ijtihad A-lBayani “ , seperti firman Allah swt :
وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ
“ Dan dirikanlah sholat “ ( QS Al An’am : 72 )
Perkataan “ Aqimuu “ menunjukkan perintah , dan perintah ini tidak terikat dengan unsur lain, di dalam kaedah ushul fiqh disebutkan bahwa “ suatu perintah pada dasarnya menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada hal-hal yang memalingkannya dari makna asli. “ . Dengan demikan kita mengetahui dari ayat di atas,bahwa sholat hukumnya wajib.
Bagian kedua : Yang bersifat “ Al-ma’nawy” ( substansial ), yaitu tata cara menggunakan dalil-dali syar’I dengan melihat subtansi atau pesan dari teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadist , kemudian pesan tersebut diterapkan pada masalah-masalah lain yang tidak tersebut di dalam teks. Bagian ini bisa disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Qiyasi “ . Tata cara ini dibagi menjadi tiga macam :
1/ Takhrij Al Manat , yaitu : mengeluarkan pesan atau alasan dari teks .
2 / Tanqih Al Manat , yaitu : menyeleksi alasan-alasan yang dikeluarkan dari teks dan mengambil yang paling sesuai.
3/ Tahqiq Al Manat : Menerapkan pesan atau alasan yang sudah terseleksi pada masalah-masalh yang tidak tersebut dalam teks.
( Membahas kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut )
Orang-orang yang menggunakan dalil- dalil tersebut adalah para mujtahid, yaitu orang yang mampu melakukan istinbath hukum dari dalil syar’I.
Ilmu Ushul Fiqh ini membahas juga pengertian ijtihad dan mujtahid, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk menjadi seorang mujtahid, tingkatan-tingkatan mujtahid, bentuk-bentuk ijtihad. Selain itu dibahas juga pengertian “ muqallid ‘’, yaitu seseorang yang belum mampu melakukan proses ijitihad secara sendiri, sehingga dia harus mengikuti perkataan mujtahid di dalam mengetahui hukum-hukum syar’I. Di dalamnya diterangkan juga tentang beberapa kondisi dimana seseorang dibolehkan bertaqlid. Berikutnya, dibahas juga pengertian ‘ talfiq ‘ , yaitu menggabungkan pendapat-pendapat di dalam berbagai madzhab dalam satu masalah atau lebih,kemudian diamalkan secara bersama .
Jika ada pertanyaan : “ Al Maqasid dan Al Maslahat “ , dua hal yang akhir-akhir ini sering dilirik oleh sebagian pemerhati syare’ah, apakah termasuk dalam bagian dari ilmu ushul fiqh ? Jawabannya bahwa Al Ilmu bil-Maqasid atau pengetahuan tentang tujuan diturunkan syare’ah oleh sebagain ulama dikatagorikan sebagai salah satu syarat ijitihad yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Namun mayoritas ulama menganggapnya sebagai syarat pelengkap saja, bukan syarat utama, karena maqashid syare’ah tidak bisa diketahui kecuali melalui teks-teks yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah . Ijitihad dengan menggunakan pertimbangan maslahat bisa disebut dengan “ Al Ijtihad Al Maqasidy “
(Adapun Maslahat, atau Mashalih Mursalah ) adalah dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama, walaupun pada hakekatnya mereka menyepakati bahwa maslahat yang masih dalam koridor sayre’ah bisa dipakai sebagai pembantu di dalam menentukan hukum dalam suatu masalah. Dan itu semua kembalinya kepada pemahaman terhadap teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Ijtihad dengan menggunakan koridor maslahat disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Istislahy “
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan, bahwa seluruh proses ijtihad atau pengambilan hukum tidak bisa dilepaskan dari pemahaman kita terhadap teks-teks Al Qur’an dan As Sunnah yang keduanya menggunakan Bahasa Arab.
Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah dalam teks-teks tersebut. Kaidah-kaidah tersebut didasarkan pada kaidah Bahasa Arab. Kaidah semacam ini sudah baku dan telah disepakati oleh para ulama, walaupun terdapat perbedaan di dalam beberapa masalah. Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi seseorang yang tidak memahami Bahasa Arab dan tidak mengerti kaidah-kaidah di dalam ushul fiqh untuk berijtihad, karena dia tidak memiliki sarana dan alat untuk bekerja. Tidak diperkenankan juga, bagi setiap orang untuk merubah kaidah-kaidah tersebut, tanpa menyertakan alasan-alasan yang ilmiyah dan bisa dipertanggung jawabkan menurut disiplin keilmuan yang ada.
Sebagian ulama membatasi pengertian Ilmu Fiqh pada masalah-masalah yang bisa dijadikan obyek proses ijtihad, yaitu masalah-masalah yang masih diperselisihkan para ulama, seperti kewajiban membaca sholawat pada tasyahud akhir ketika sholat, kewajiban berniat ketika berwudlu, dan lain-lainnya.
Para ulama menyebutkan cara-cara untuk mengetahui “ Maqasid Syare’ah “ diantaranya adalah : 1/ mengadakan pembacaan yang utuh dan menyeluruh terhadap pesan-pesan yang terkandung dalam teks-teks Al Qur’an dan As Sunnah, berikut alasan -alasannya, 2/ memahami bahasa Arab dengan baik, 3/ memahami alur pembicaraan yang terdapat di dalam teks, 4/ mengikuti pemahaman para sahabat, karena mereka hidup bersama wahyu . 5/ mengetahui masalah-masalah yang tidak disinggung oleh wahyu baik secara langsung , maupun tidak langung .
Adapun pengertian Masholih Mursalah, secara terminologi , para ulama ushul fikih masih berselisih pendapat di dalamnya , salah satu pengertian yang terkenal adalah : “ Setiap manfaat yang berada dalam kerangka maqasid syari’ah, tanpa ada dalil yang membenarkannya atau yang menyalahkannya .“
Entri Tersimpan
Tanggal Tulisan :
Maret 15, 2007 at 7:20 am
Kategori :
Ushul Fiqh
Lakukan Lebih Lanjut :
You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar