Senin, 22 Desember 2008

Qodzaf

Qodzaf



Secara bahasa makna kata “qodzaf” adalah ar-rum-yu bisy-syay-‘i (menuduh sesuatu).
Sedangkan secara istilah adalah menuduh berzina atau melakukan liwath (homoseksual).
Hukumannya adalah 80 kali cambukan.
Dalilnya :







Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur : 4).

pengertian berzina

Pengertian zina yaitu :
Zina mata adalah melihat [sesuatu], zinanya lisan adalah mengucapkan [sesuatu], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [sesuatu], sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu [semua]. … (HR Bukhari & Muslim)

Jadi, “sesuatu” yang hendaknya kita hindari itu adalah yang mengarah pada hubungan kelamin. Inilah yang dimaksud dengan “sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu [semua]“.

Dengan demikian, melihat nonmuhrim tidak selalu merupakan zina mata. Yang tergolong “zina mata” (berzina dengan mata) adalah melihat dengan syahwat. Misalnya: memandangi foto porno, mengintip cewek mandi, dsb.

Secara demikian pula, menyampaikan kata-kata mesra kepada sang pacar bukanlah tergolong “zina lisan”. Yang tergolong “zina lisan” adalah yang disertai dengan nafsu birahi.
Contohnya: ucapan mesum kepada sang kekasih, “Aku ingin sekali meletakkan mulutku ke mulutmu berpagutan dalam ciuman.”

Dengan demikian pula, merindukan si dia atau pun merasakan getaran di hati ketika memikirkan si dia bukanlah tergolong “zina hati”. Pengertian “zina hati” (berzina dalam hati) adalah mengharap dan menginginkan pemenuhan nafsu birahi. Contohnya: berpikiran mesum, “Kapan-kapan aku akan ke tempat kostnya saat sepi tiada orang lain. Siapa tahu dia mau kuajak ‘begituan’.”

Demikian pula untuk “zina tangan”, “zina kaki”, dan berbagai aktivitas mendekati-zina lainnya
“Zina hati” adalah “mengharap-harap kesempatan untuk berzina” atau “memelihara hasrat untuk berzina”. Dari kata-kata ukhti, saya tidak melihat adanya zina hati pada diri ukhti. Ataukah ukhti mengira bahwa “kecondongan hati” terhadap si dia merupakan “zina hati”? Ketahuilah bahwa kecondongan hati itu merupakan rasa cinta, sedangkan rasa cinta itu halal dan bukan tergolong “zina hati”. (Lihat artikel “Pengertian zina-hati dan mendekati-zina lainnya“.) [...]

Dalil zina : Dalil larangan zina secara umum adalah firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Israa� : 32)

Dalil Naqli tentang zina dalam Alqur'an:


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.
[QS Al Isra' 17:32]


Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
[QS Al A'raaf 7:33]


Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)
[QS An Nuur 24:26]


Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
[QS Al Maaidah 5:5]

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
[QS An Nuur 24:2]


Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.
[QS An Nuur 24:3]

Dalil naqli tentang zina dalam hadist shahih:

Apabila seorang hamba berzina keluarlah iman darinya. Lalu iman itu berada di atas kepalanya seperti naungan, maka apabila dia telah bertaubat, kembali lagi iman itu kepadanya.

[Hadits shahih riwayat Abu Dawud no. 4690 dari jalan Abu Hurairah]

Berkata Ibnu Abbas: "Dicabut cahaya (nur) keimanan di dalam zina"
[Hadist Riwayat Bukhari di awal kitab Hudud, Fathul Bari 12:58-59]

Ada tiga golongan (manusia) yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih, yaitu ; Orang tua yang berzina, raja yang pendusta (pembohong) dan orang miskin yang sombong
[Hadits shahih riwayat Muslim 1/72 dari jalan Abu Hurairah]

pengertian mencuri / merampok .

arti mencuri atau merampok adalah :
mungkin pengertian pencurian perlu kita bagi menjadi dua golongan, yaitu: pencurian secara aktif dan pencurian secara pasif.
Pertama, pencurian secara aktif. Apa maksudnya? Pencurian secara aktif adalah tindakan mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik .
Kedua, pencurian secara pasif. Apa maksudnya? Bila pencurian secara aktif berarti tindakan mengambil hak milik seseorang, maka pencurian secara pasif berarti tindakan menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain.
Bagaimana dengan pengertian Alkitab tentang mencuri itu sendiri? Alkitab sendiri tidak memberikan definisi secara eksplisit. Ketika kita melihat perintah “Jangan mencuri”, Alkitab tidak memberikan penjelasan apapun tentang hal itu. Tapi ada satu hal yang pasti, yaitu Alkitab seringkali mengulang-ulang membicarakan konsekuensi bila seseorang mencuri. Laknat Tuhan akan turun bila para pencuri dibiarkan leluasa melakukan kejahatannya. Menurut hukum Tuhan, bila pencuri-pencuri itu masih ingin hidup, maka mereka harus mengembalikan apa yang mereka ambil .Berikutnya menyebutkan bahwa bila seekor kambing atau sapi dicuri, maka pencurinya harus membayar kembali lima sapi dan empat kambing. Bagaimana kalau ia tidak mampu membayar? Maka, si pencuri itu harus dijual sampai hutangnya lunas,atau hukuman yang lebih berat, yaitu mengembalikan tujuh kali lipat. Dan bahkan, ada pencurian yang berujung pada hukuman mati. Intinya, sekali lagi, Alkitab sering mengulang-ulang perintah jangan mencuri. Tentunya, hal ini menandai betapa seriusnya Tuhan akan dosa yang satu ini.

Dalil mencuri : dari Ibnu Umar r.a berkata, “Beliau (Rasulullah) memotong tangan pencuri karena mencuri perisai (baju besi) seharga 3 dirham” (Al Bukhari dalam Al Hudud no.6796 dan Muslim dalam Al Hudud no.1686/6)
dari Aisyah r.a, Nabi bersabda, “Tangan harus dipotong karena mencuri ¼ dinar atau lebih” (redaksi Al Bukhari dalam Al Hudud no.6789)

redaksi Muslim dalam Al Hudud no.1684/2, “Tangan pencuri tidak dipotong melainkan karena mencuri ¼ dinar atau lebih.”
Nabi bersabda, “Potonglah karena mencuri ¼ dinar, dan jangan potong karena mencuri kurang dari itu.” (Al Bukhari dalam Al Hudud no.6791)
dari Rafi’ bin Khudaij menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda: tidak ada hukum potong karena mengambil buah-buahan, begitu pula tandan kurma.” (HR. Ahlus Sunan, Abu Dawud dalam Al Hudud no.4388, dan At Tirmidzi dalam Al Hudud 1449).
dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia menuturkan, “Aku mendengar dari Muzainah bertanya pada Rasulullah. Katanya, “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu untuk bertanya tentang unta yang tersesat. Beliau menjawab: unta itu membawa sepatunya dan membawa tempat minumnya, ia memakan dedaunan dan meminum air. Biarkanlah ia (jangan diambil) sampai orang yang mencarinya mendapatkannya.

Ia bertanya : Bagaimana dengan kambing-kambing yang tersesat? Beliau menjawab: Untukmu, untuk saudaramu, atau untuk serigala. Kumpulkan kambing-kambing itu sehingga orang yang mencarinya datang. Ia bertanya: Lalu bagaimana dengan hewan yang diambil dari tempat gembalaannya? Beliau menjawab: Ia harus membayarnya dua kali lipat dan dihukum cambuk. Sedangkan apa yang diambil dari tempat derum unta, maka ia harus dipotong. Apabila yang diambil mencapai harga perisai (1/4 dinar).
Ia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana hukum buah-buahan dan apa yang diambil dari tangkainya? Beliau menjawab: Barangsiapa yang mengambil darinya dengan mulutnya dan tidak mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Dan barangsiapa yang membawanya, maka ia harus membayarnya dua kali dan dihukum cambuk. Apa yang diambil dari penjemurannya (tempat pengeringan biji kurma dan gandum), maka ia dipotong apabila yang diambil mencapai harga perisai. Bila tidak mencapai harga perisai, maka ia membayar denda dua kali lipat dan beberapa kali cambukan.” (HR. Ahlus Sunan, tetapi ini redaksi An-Nasa’I, Abu dawud dalam Al Hudud no.4390; dan an-Nasa’i dalam Qath’ as-Sariq no. 4959.)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Ma’idah:38-39)
Dari dalil-dalil diatas, saya memahami bahwa seseorang bisa dianggap sebagai pencuri dan dikenai hukum potong tangan apabila pencurian dilakukan pada tempat penyimpanan dan telah mencapai nishab (1/4 dinar, 1 dinar = 4.25 gr emas murni(=1,0625 gr emas murni atau kalau sekarang ( 1gr emas murni 99% = Rp. 174.500

pengertian khomer

Islam adalah agama yang membawa rahmat dan kasih sayang kepada
manusia. Islam adalah agama yang menjaga harta, akal, jiwa, kehormatan
manusia. Tidak ada hal yang merusak akal, harta, jiwa , dan kerhomatan
melainkan Islam telah mengharamkannya. Ketika hal-hal yang berbahaya
bagi manusia bertambah banyak seiring dengan perkembangan jaman, maka
bukanlah suatu hikmah jika syariat merinci nama-nama semuanya satu
demi satu, tentu Al Quran yang ada tidak akan setipis seperti yang
sekarang. Namun cukuplah digariskan garis besar ketentuannya yang
mencakup kaidah-kaidah pokok yang mencakup seluruhnya dan berlaku
sampai akhir zaman.

Dalam hal ini Alloh taala telah berfirman dalam Surat Al Baqoroh
“….dan janganlah engkau jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan…….” ayat
ini bersifat umum dan tidak menyebtukan macam dan jenis kebinasaan,
sehingga harus kita berlakukan apa adanya sebagiamana yang Alloh
kehendaki. Alloh taal telah melarang hambaNya untuk menempuh jalan-
menuju kebinasaan, entah membinasakan dirinya sendiri maupun bersama
orang lain bagaimanapun caranya, dan apapun namanya.Selama hal
tersebut membinasakan, maka pasti syariat akan mengharamkannya. Ambil
contoh Khomer, jelas seperti matahari pada siang bolong tanpa mendung,
khomer merusak kesehatan, merusak akal, dan menyia-nyiakan harta.
Syara’ telah tegas mengharamkannya bahkan Alloh dengan tegas
menyebutkan Khomer ini dalam Al Qur’an tentang keharamannya. Sama
halnya dengan narkoba, jika dikatakan tidak ada dalil khusus menyebut
narkoba haram, ini tidak benar ayat di atas dengan tegas
mengahramkannya. Karena semua orang tahu bahwa narkoba membahayakan
jiwa. Maka dari sini narkoba masuk dalam keumuman ayat di atas.

Begitu juga dengan rokok. Semua dokter di dunia, entah muslim maupun
kafir telah sepakat akan berbahayanya rokok bagi kesehatan manusia.
Saking bahayanya, diwajibkan untuk menulis bahaya rokok pada kemasan
rokok itu sendiri, dan tidak ada yang komplain mengenai hal itu,
karena memang begitulah keadaannya. Bagitu bahayanya rokok ini sampai
harus ditulis disetiap kemasan dan disebutkan dalam iklan-iklan rokok.
Dari satu segi ini saja jelas rokok telah diharamkan dengan dalil ayat
di atas. Masih menurut penelitian para dokter dan kesepakatan mereka
(entah kafir entah muslim) rokok ternyata juag berbahaya bagi orang-
orang yang berada di sekitar perokok, mereka juga akan menghirup asap
rokok dan turut berisiko terkena bahayanya, in adalah perbutan Dzolim
kepada orang lain, dan tentu saja haram hukumnya. Dari segi yang lain,
rokok adalah perbuatan menyia-nyiakan harta, pemborosan, dan tidak ada
gunanya. Padahal perbautan semacam ini adalah perbuatan setan, mana
mungkin Alloh akan ridho dengan perbuatan setan..?

Jika rokok hanya terkena satu dari tiga hal tersebut di atas, maka
sudah lebih dari cukup untuk mengharamkannya, lalu bagaimana lagi jika
rokok terkena semua tiga hal tersebut di atas….?
Jika rokok tidak haram, maka apakah pengertian haram……….? Jika rokok
tidak haram, mungkin tak ada lagi barang haram di dunia ini……!

Jika ada yang berkata bahwa “…..kiai itu bilang bahwa rokok itu
makruh..” Maka jawaban saya adalah firman Alloh dalam Al
Qur’an ..”..tidak patut bagi seorang muslim apabila Alloh dan RosulNya
telah menetapkan sesuatu akan ada pilihan lain bagi mereka…” Alloh
telah mengharamkan rokok, maka akankah hal ini kita bantah dengan
pendapat kiai tadi….?Ketahuilah bahwa kiai juga manusia, tidak luput
dari kesalahan. Tidak boleh kita ikut secara membabi buta, kita ikuti
bila sesuai dengan syariat dan kita tolak bila melanggar syariat.
Karena kebenaran mutlaq hanya pada dalil Al Qur’an dan Sunnah..Dan
telah jelas bagi kita semua kebenaran haramnya rokok dari tiga sisi,
maka tidak ada alasan untuk tidak mengatakan haram atas apa yang Alloh
haramkan.

pengertian bughat

Bughat, Pasukan Berani Mati, Santet, dan Gus Dur Malaikat

Pembelaan orang-orang NU terhadap Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dari goyangan yang ingin menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan karena dianggap kepemimpinannya menimbulkan berbagai masalah dan tidak ada tanda-tanda kebaikan, tampaknya diujudkan dengan aneka macam. Dan pembelaan itu sendiri kelihatannya tidak perduli lagi, entah benar entah salah, pokoknya asal membela.

Bentuk-bentuk pembelaan itu di antaranya ada yang sesumbar mau menyantet, ada yang kiyai-kiyainya kumpul-kumpul untuk mencarikan hukum pakai kitab-kitab kuning (kitab berbahasa Arab biasanya kertasnya berwarna kuning) supaya para penggoyang Gus Dur yang menginginkan Gus Dur mundur dari kursi kepresidenan itu dihukumi sebagai bughot (pemberontak). Kalau sudah dihukumi bughat, maka pemerintahan Islam boleh memeranginya.

Dikhabarkan, sekitar 20 ulama NU Jawa Timur, Senin (19/3 2001), membahas hukum agama tentang bughat. Mereka menilai situasi politik yang ada sudah menjurus ke arah bughat kepada pemerintahan yang sah. Pertemuan dipimpin Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim, KH Ahmad Subadar. (Republika, 20/3 2001).

Weleh-weleh.... Orang NU itu mendirikan partai PKB –Partai Kebangkitan Bangsa-- saja tidak doyan asas Islam, dan Gus Dur sendiri menganggap kalau Islam dilegalkan atau diformalkan itu berbahaya, kok malaah para Kiyai NU Jawa Timur capek-capek ramai-ramai membuka kitab kuning untuk mencari hukum bughat (pemberontak bersenjata terhadap pemerintahan Islam yang sah). Apa mereka lupa bahwa Gus Dur itu memerintah sama sekali tidak memakai syari’at Islam, dan bahkan jelas tidak doyan syari’at Islam?

Mestinya, dulu-dulu orang NU itu memperjuangkan syari’at Islam, baru kemudian kalau ada yang memberontak pada pemerintahan yang menjalankan syari’at Islam dicarikan hukum Islamnya yang judulnya bughat. Itu baru namanya para kiyai atau rombongan ulama. Tapi ini sudah sejak semula justru tidak doyan syari’at, tahu-tahu ketika dirasa kepemimpinannya dhalim dan tidak efektif lantas digoyang orang, maka yang menggoyangnya mau dicap sebagai bughat, dan sudah lebih dulu mengirimkan Pasukan Berani Mati (PBM) demi membela Gus Dur dan melawan penggoyangnya yang mereka sebut bughat.

Mereka menolak kalau Syari’at Islam ditegakkaan. Tetapi mereka ingin mengklaim bahwa orang yang menggoyang kepemimpinan Gus Dur itu sebagai bughat, ini adalah sikap yang nyata-nyata menirukan sikap Yahudi yang telah dikecam oleh Allah SWT:

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Qiyamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah: 85).

Apa itu Bughat?
Bughat atau bughoh adalah gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, baik karena salah pengertian ataupun bukan.
Kata bughoh jama’ dari baaghin artinya seorang penantang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata.[1]

Yang dikatakan kaum bughat, ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun yang dikatakan Imam ialah pemimpin rakyat Islam yang mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaanya.

Adapun cara memberontak ialah dengan:
-Memisahkan diri dari wilayah kekuasaan Imamnya.
-Atau menentang kepada keputusan Imam, atau menentang perintahnya dengan jalan kekerasan senjata.
-Orang-orang golongan manusia yang disebut bughat itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
-Mempunyai kekuatan bala tentara serta senjatanya untuk memberontak Imamnya.
-Mempunyai pimpinan yang ditaati oleh mereka.
-Mereka berbuat demikian, disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontaknya itu menjadi keharusan baginya.

Adapun yang dikatakan Imamul Muslimin, ialah pemegang pemerintahan umum bagi kaum Muslimin, mengenai urusan agama dan urusan kenegaraannya dan dia diangkat berdasarkan bai’at (kesetiaan) dari masyarakatnya, entah langsung atau melalui wakil-wakilnya, yaitu: Para ulama, cendekiawan, dan para terkemuka yang disebut: Ahlul Hilli wal ‘aqdi. Pengangkatan Imam dianggap cukup dengan perantaraan mereka, karena mereka itu mudah untuk berkumpul dalam satu tempat, sehingga segala persoalan mudah diatasi/ diselesaikan.[2]

Kaum Bughat bisa ditumpas dengan jalan:
Mula-mula Imam mengutus utusannya untuk menghubungi mereka guna meminta alasan sebab-sebabnya mereka memberontak. Hal ini sebagaimana tindakan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dalam mengutus Ibnu Abbas untuk menghubungi golongan Nahrawan.

Kalau disebabkan karena Imamnya berbuat kedzaliman, hendaknya Imam itu meninggalkan/ merobah perbuatannya itu supaya menjadi baik.

Kalau Imam itu tidak merasakan bahwa dia itu tidak berbuat dhalim, hendaknya diadakan pertukaran fikiran antara Imam dengan pemimpin mereka (pemberontak).

Kalau mereka terus membandel, Imam berhak memberikan ultimatum kepada mereka, dengan akan diadakannya tindakan tegas, bila mereka tidak segera menyerahkan diri.

Kalau mereka terus membandel juga, Imam berhak untuk mengadakan tindakan dengan kekerasan senjata pula sebagai imbangan kepada perbuatan mereka.

Firman Allah:
“Kalau dua golongan dari golongan orang-orang Mukmin mengadakan peperangan, maka damaikanlah antara keduanya. Kalau salah satunya berbuat menentang perdamaian kepada lainnya, maka perangilah orang-orang (golongan) yang menentang itu sehingga mereka kembali ke jalan Allah. Kalau mereka kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan memang harus berbuat adillah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah itu mencintai pada orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujuraat: 9).[3]

Kekhususan dalam Menghadapi Bughat

Imam Al-Mawardi menjelaskan ada 8 perbedaan antara memerangi para pemberontak kaum Muslimin dengan memerangi orang-orang Musyrik dan orang-orang murtad.

Peperangan terhadap para pemberontak kaum muslimin dimaksudkan untuk menghentikan pemberontakan mereka dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka. Di sisi lain dibenarkan peperangan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang murtad dimaksudkan untuk membunuh mereka.
Para pemberontak kaum muslimin baru boleh diserang, jika mereka maju menyerang. Jika mereka mundur dari medan perang, mereka tidak boleh diserang. Di sisi lain, diperbolehkan menyerang orang-orang musyrik dan orang-orang murtad; mereka maju menyerang atau mundur.

Orang-orang terluka dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain diperbolehkan membunuh orang-orang terluka dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad. Pada Perang Jamal, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu memerintahkan penyerunya untuk berseru dengan suara keras, “Orang yang telah mundur dari medan perang tidak boleh diserang, dan orang yang terluka tidak boleh dibunuh.”

Tawanan-tawanan yang berasal dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain tawanan-tawanan dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad boleh dibunuh. Kondisi tawanan perang dari para pemberontak harus diperhatikan dengan cermat ; jika ia diyakini tidak kembali berperang (memberontak), ia dibebaskan. Jika ia diyakini kembali berperang (memberontak), ia tetap ditawan hingga perang usai. Jika perang telah usai, ia dibebaskan dan tidak boleh ditawan sesudah perang.

Al-Hajjaj pernah membebaskan salah seorang tawanan dari sahabat-sahabat Qathri bin Al-Fuja’ah, karena keduanya saling kenal. Al-Qathri berkata kepada tawanan tersebut, “kembalilah berperang melawan musuh Allah, Al-Hajjaj.” Tawanan tersebut menjawab, “Aduh, kalau begitu dua tangan orang yang telah dibebaskan telah berkhianat, dan memperbudak leher orang yang membebaskannya!”
Harta para pemberontak tidak boleh diambil, dan anak-anak mereka tidak boleh disandra. Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,
“Dilindungi apa saja yang ada di negara Islam, dan dihalalkan apa saja yang ada di negara musyrik.”

Dalam memerangi para pemberontak, negara Islam tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir muahid (yang berdamai dengan kaum muslimin), atau orang kafir dzimmi (kafir yang berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin dengan membayar jizyah dalam jumlah tertentu), kendati hal tersebut dibenarkan ketika negara Islam memerangi orang-orang musyrik, dan orang-orang murtad.
Negara Islam tidak boleh berdamai dengan mereka untuk jangka waktu tertentu dan juga tidak boleh berdamai dengan mereka dengan kompensasi uang. Jika komandan perang pasukan Islam berdamai dengan mereka dalam jangka waktu tertentu, ia tidak harus memenuhinya. Jika ia tidak sanggup memerangi mereka, ia menunggu datangnya bantuan pasukan untuk menghadapi mereka. Jika ia berdamai dengan mereka, dengan kompensasi uang, maka perdamaian batal, dan uang perdamaian diperhatikan dengan baik; jika uang tersebut berasal dari fai’ mereka atau berasal dari sedekah (zakat) mereka, maka uang tersebut tidak dikembalikan kepada mereka, kemudian sedekah (zakat) tersebut didistribusikan kepada para penerimanya dari kaum muslimin, dan fai’ dibagi-bagikan pada penerimanya. Jika uang perdamaian murni dari mereka, uang tersebut tidak boleh dimiliki pasukan Islam dan harus dikembalikan kepada mereka.
Pasukan Islam tidak boleh menyerang mereka dengan menggunakan senjata al-arradat (senjata pelempar batu), rumah-rumah mereka tidak boleh dibakar, kurma-kurma dan pohon-pohon mereka tidak boleh ditebang, karena itu semua berada di dalam negara Islam yang terlindungi, kendati warganya memberontak.[4]

Demikianlah pengertian tentang bughat atau pemberontak Muslim di negeri yang pemerintahannya Islam. Perlawanan para pemberontak pemerintahan Islam itu sendiri apabila pemerintahnya dhalim, masih jadi pembicaraan, sebagai berikut:

Prof TM Hasbi As-Shiddieqy mengemukakan kaidah sebagai berikut:
“Tidak boleh kita menentang pemerintah atau kepala negara selama mereka belum melahirkan kufur yang nyata.”

Demikian pendapat Jumhur Ulama. Setengah ulama membolehkan, bahkan mewajibkan rakyat menentang kepala negara yang lalim, walaupun belum nyata kufurnya.[5]

Dalam kaidah itu, pemerintahan Islam yang sah saja kalau penguasanya dhalim maka sebagian ulama membolehkan bahkan mewajibkan rakyat menentangnya. Lantas, bagaimana bisa pemerintahan Gus Dur yang sama sekali tidak doyan Islam itu mau didukung-dukung oleh orang-orang NU yang mencari-cari hukum bughat dan akan ditimpakan kepada para penentang Gus Dur yang dinilai dhalim? Bahkan sudah ada 500-an orang yang menyebut dirinya Pasukan Berani Mati (PBM) demi Gus Dur didatangkan dari Jawa Timur ke Jakarta.

pengertian do'a

Pengertian do’a
A. Arti Doa / Do'a
Doa adalah memohon atau meminta suatu yang bersifat baik kepada Allah SWT seperti meminta keselamatan hidup, rizki yang halal dan keteguhan iman. Sebaiknya kita berdoa kepada Allah SWT setiap saat karena akan selalu didengar olehNya.

B. Tujuan Berdo'a / Berdoa
- Memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT
- Agar selamat dunia akhirat
- Untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT
- Meminta perlindungan Allah SWT dari Setan yang terkutuk

C. Waktu-waktu yang tepat / mustajab untuk berdoa kepada Allah SWT
- Ketika membaca AlQuran
- Setelah Solat wajib
- Pada saat tengah malam setelah sholat tahajud
- Saat melaksanakan ibadah haji
- Saat berpuasa wajib dan sunah

D. Adab atau Tata cara Berdoa / berdo'a
- Menghadap ke Kiblat / Ka'bah
- Sebelum berdoa membaca basmalah, istighfar dan hamdalah. Kemudian diikuti salawa
nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
- Mengangkat kedua telapak tangan sebelum berdoa dan mengusap muka dengan telapak
tangan setelah doa.
- Melembutkan suara dan tenang saat berdoa
- khusyuk, ikhlas dan serius
- Berharap agar doanya diterima Allah SWT
- Berdoa berulang-ulang di lain waktu untuk menunjukkan keseriusan kita agar
dikabulkan oleh Allah SWT
- Setelah berdoa ditutup dengan salawat nabi dan pujian pada Allah SWT.

Senin, 24 November 2008

pengertian mencuri

pengertian memcuri :
arti mencuri, mungkin kita perlu bagi pencurian menjadi dua golongan, yaitu: pencurian secara aktif dan pencurian secara pasif.
Pertama, pencurian secara aktif. Apa maksudnya? Pencurian secara aktif adalah tindakan mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik .
Kedua, pencurian secara pasif. Apa maksudnya? Bila pencurian secara aktif berarti tindakan mengambil hak milik seseorang, maka pencurian secara pasif berarti tindakan menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain.
Bagaimana dengan pengertian Alkitab tentang mencuri itu sendiri? Alkitab sendiri tidak memberikan definisi secara eksplisit. Ketika kita melihat perintah “Jangan mencuri”, Alkitab tidak memberikan penjelasan apapun tentang hal itu. Tapi ada satu hal yang pasti, yaitu Alkitab seringkali mengulang-ulang membicarakan konsekuensi bila seseorang mencuri. Laknat Tuhan akan turun bila para pencuri dibiarkan leluasa melakukan kejahatannya. Menurut hukum Tuhan, bila pencuri-pencuri itu masih ingin hidup, maka mereka harus mengembalikan apa yang mereka ambil .Berikutnya menyebutkan bahwa bila seekor kambing atau sapi dicuri, maka pencurinya harus membayar kembali lima sapi dan empat kambing. Bagaimana kalau ia tidak mampu membayar? Maka, si pencuri itu harus dijual sampai hutangnya lunas,atau hukuman yang lebih berat, yaitu mengembalikan tujuh kali lipat. Dan bahkan, ada pencurian yang berujung pada hukuman mati. Intinya, sekali lagi, Alkitab sering mengulang-ulang perintah jangan mencuri. Tentunya, hal ini menandai betapa seriusnya Tuhan akan dosa yang satu ini.
dalil nencuri :dari Ibnu Umar r.a berkata, “Beliau (Rasulullah) memotong tangan pencuri karena mencuri perisai (baju besi) seharga 3 dirham” (Al Bukhari dalam Al Hudud no.6796 dan Muslim dalam Al Hudud no.1686/6)
dari Aisyah r.a, Nabi bersabda, “Tangan harus dipotong karena mencuri ¼ dinar atau lebih” (redaksi Al Bukhari dalam Al Hudud no.6789)

redaksi Muslim dalam Al Hudud no.1684/2, “Tangan pencuri tidak dipotong melainkan karena mencuri ¼ dinar atau lebih.”
Nabi bersabda, “Potonglah karena mencuri ¼ dinar, dan jangan potong karena mencuri kurang dari itu.” (Al Bukhari dalam Al Hudud no.6791)
dari Rafi’ bin Khudaij menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda: tidak ada hukum potong karena mengambil buah-buahan, begitu pula tandan kurma.” (HR. Ahlus Sunan, Abu Dawud dalam Al Hudud no.4388, dan At Tirmidzi dalam Al Hudud 1449).
dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia menuturkan, “Aku mendengar dari Muzainah bertanya pada Rasulullah. Katanya, “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu untuk bertanya tentang unta yang tersesat. Beliau menjawab: unta itu membawa sepatunya dan membawa tempat minumnya, ia memakan dedaunan dan meminum air. Biarkanlah ia (jangan diambil) sampai orang yang mencarinya mendapatkannya. Ia bertanya: Bagaimana dengan kambing-kambing yang tersesat? Beliau menjawab: Untukmu, untuk saudaramu, atau untuk serigala. Kumpulkan kambing-kambing itu sehingga orang yang mencarinya datang. Ia bertanya: Lalu bagaimana dengan hewan yang diambil dari tempat gembalaannya? Beliau menjawab: Ia harus membayarnya dua kali lipat dan dihukum cambuk. Sedangkan apa yang diambil dari tempat derum unta, maka ia harus dipotong. Apabila yang diambil mencapai harga perisai (1/4 dinar). Ia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana hukum buah-buahan dan apa yang diambil dari tangkainya? Beliau menjawab: Barangsiapa yang mengambil darinya dengan mulutnya dan tidak mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Dan barangsiapa yang membawanya, maka ia harus membayarnya dua kali dan dihukum cambuk. Apa yang diambil dari penjemurannya (tempat pengeringan biji kurma dan gandum), maka ia dipotong apabila yang diambil mencapai harga perisai. Bila tidak mencapai harga perisai, maka ia membayar denda dua kali lipat dan beberapa kali cambukan.” (HR. Ahlus Sunan, tetapi ini redaksi An-Nasa’I, Abu dawud dalam Al Hudud no.4390; dan an-Nasa’i dalam Qath’ as-Sariq no. 4959.)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Ma’idah:38-39)
Dari dalil-dalil diatas, saya memahami bahwa seseorang bisa dianggap sebagai pencuri dan dikenai hukum potong tangan apabila pencurian dilakukan pada tempat penyimpanan dan telah mencapai nishab (1/4 dinar, 1 dinar = 4.25 gr emas murni(=1,0625 gr emas murni atau kalau sekarang ( 1gr emas murni 99% = Rp. 174.500

pengertian zina :
Zinanya mata adalah melihat [sesuatu], zinanya lisan adalah mengucapkan [sesuatu], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [sesuatu], sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu [semua]. … (HR Bukhari & Muslim)

Jadi, “sesuatu” yang hendaknya kita hindari itu adalah yang mengarah pada hubungan kelamin. Inilah yang dimaksud dengan “sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu [semua]“.

Dengan demikian, melihat nonmuhrim tidak selalu merupakan zina mata. Yang tergolong “zina mata” (berzina dengan mata) adalah melihat dengan syahwat. Misalnya: memandangi foto porno, mengintip cewek mandi, dsb.

Secara demikian pula, menyampaikan kata-kata mesra kepada sang pacar bukanlah tergolong “zina lisan”. Yang tergolong “zina lisan” adalah yang disertai dengan nafsu birahi. Contohnya: ucapan mesum kepada sang kekasih, “Aku ingin sekali meletakkan mulutku ke mulutmu berpagutan dalam ciuman.”

Dengan demikian pula, merindukan si dia atau pun merasakan getaran di hati ketika memikirkan si dia bukanlah tergolong “zina hati”. Pengertian “zina hati” (berzina dalam hati) adalah mengharap dan menginginkan pemenuhan nafsu birahi. Contohnya: berpikiran mesum, “Kapan-kapan aku akan ke tempat kostnya saat sepi tiada orang lain. Siapa tahu dia mau kuajak ‘begituan’.”

Demikian pula untuk “zina tangan”, “zina kaki”, dan berbagai aktivitas mendekati-zina lainnya
“Zina hati” adalah “mengharap-harap kesempatan untuk berzina” atau “memelihara hasrat untuk berzina”. Dari kata-kata ukhti, saya tidak melihat adanya zina hati pada diri ukhti. Ataukah ukhti mengira bahwa “kecondongan hati” terhadap si dia merupakan “zina hati”? Ketahuilah bahwa kecondongan hati itu merupakan rasa cinta, sedangkan rasa cinta itu halal dan bukan tergolong “zina hati”. (Lihat artikel “Pengertian zina-hati dan mendekati-zina lainnya“.) [...]
dalil zina :Dalil larangan zina secara umum adalah firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Israa� : 32)

Dalil Naqli tentang zina dalam Alqur'an:


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.
[QS Al Isra' 17:32]


Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
[QS Al A'raaf 7:33]


Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)
[QS An Nuur 24:26]


Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
[QS Al Maaidah 5:5]


Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
[QS An Nuur 24:2]


Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.
[QS An Nuur 24:3]

Dalil naqli tentang zina dalam hadist shahih:

Apabila seorang hamba berzina keluarlah iman darinya. Lalu iman itu berada di atas kepalanya seperti naungan, maka apabila dia telah bertaubat, kembali lagi iman itu kepadanya.
[Hadits shahih riwayat Abu Dawud no. 4690 dari jalan Abu Hurairah]

Berkata Ibnu Abbas: "Dicabut cahaya (nur) keimanan di dalam zina"
[Hadist Riwayat Bukhari di awal kitab Hudud, Fathul Bari 12:58-59]

Ada tiga golongan (manusia) yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih, yaitu ; Orang tua yang berzina, raja yang pendusta (pembohong) dan orang miskin yang sombong
[Hadits shahih riwayat Muslim 1/72 dari jalan Abu Hurairah]

Selasa, 16 September 2008

pengertian diat

DIYAT
1. Pengertian Diat
Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukuman bunuh.
a. Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari pembalasan jiwa.
b. Pembunuh yang tidak sengaja
c. Pembunuh yang tidak ada unsur membunuh.

2. Macam-macam diyat
Diyat ada dua macam :
a. Diyat Mughalazhah, yakni denda berat
Diyat Mughalazhah ialah denda yang diwajibkan atas pembunuhan sengaja jika ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa serta denda aas pembunuhan tidak sengaja dan denda atas pembunuhan yang tidak ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan dibulan haram, ditempat haram serta pembunuhan atas diri seseorang yang masih ada hubungan kekeluargaan. Ada pun jumlah diat mughallazhah ialah : 100 ekor unta terdiri 30 ekor unta berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta 40 ekor unta berumur 5 tahun (yang sedang hamil).

Diat Mughallazah ialah :
· Pembunuhan sengaja yaitu ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa.
· Pembunuhan tidak sengaja / serupa
· Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
· Pembunuhan di kota haram atau Mekkah.
· Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan kekeluargaanseperti Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.
· Pembunuhan tersalahdengan tongkat, cambuk dsb.
· Pemotongan atau membuat cacat angota badan tertentu.

b. Diyat Mukhaffafah, yakni denda ringan.
Diyat Mukhoffafah diwajibkan atas pembunuhan tersalah. Jumlah dendanya 100 ekor unta terdiri dari 20 ekor unta beurumur 3 tahun, 20 ekor unta berumur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20 ekor unta betina umur 1 tahun.

Diyat Mukhoffafah dapat pula diganti uang atau lainya seharga unta tersebut. Diat Mukhoffafah adalah sebagai berikut :
· Pembunuhan yang tersalah.
· Pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter.
· Pemotongan atau membuat cacat serta melukai anggota badan.

3. Ketentuan-ketentuan lain mengenai diat :
a. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja dibayar tunai waktu itu juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena tersalah dibayar selama 3 tahun dan tiap tahun sepertiga.
b. Diyat wanita separo laki-laki.
c. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid separo diat muslimin.
d. Diyat Yahudi dan Nasrani sepertiga diat oran g Islam.
e. Diyat hamba separo diat oran g merdeka.
f. Diyat janin, sepersepuluh diat ibunya, 5 ekor unta.

pengertian ta'zir

Ta'zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Penentuan jenis pidana ta'zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan manusia.
Ta'zir
Jarimah hudud bisa berpindah menjadi Jarimah Ta'zir bila ada syubhat, baik itu shubhat fi al fi'li, fi al fa'il, maupun fi al mahal. Demikian juga bila Jarimah hudud tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian dan percobaan pembunuhan. Bentuk lain dari jarimah ta'zir adalah kejahatan yang bentuknya ditentukan oleh ulil amri sesuai dengan nilai nilai, prinsip prinsip dan tujuan syari'ah, seperti peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi sanksi kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin dan lain lain.
Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.
Bisa dikatakan pula, bahwa ta'zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir (selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta'zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan benruk bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta'zir menjadi tiga, yaitu:
1. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
2. Jarimah ta'zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari'ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3. Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama uang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.
Hukuman hukuman ta'zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta'zir antara lain:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: "Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud".
3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya. , Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha' tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah."
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
"Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat."

7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, "Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.

pengertian qishas

QISHASH
1. Pengertian Qishash
Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.

2. Qishash ada 2 macam :
a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.

3. Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)

4. Pembunuhan olah massa / kelompok orang
Sekelompok oran g yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..

5. Qishash anggota badan
Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)

C. HIKMAH QISHASH
Hikmah qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh oran g, tentu ia takut membunuh oran g lain. Dengan demikian terpeliharalah jiwa dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.

Ringkasnya, menjatuhkan hukum yang sebanding dan setimpal itu, memeliharakan hidup masyarakat: dan Al-Quran tiada menamai hokum yang dijatuhkan atas pembunuh itu, dengan nama hukum mati atau hukum gantung, atau hukum bunuh, hanya menamai hukum setimpal dan sebanding dengan kesalahan. Operasi pemberantasan kejahatan yang dilakukan pemerintah menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran islam terutama yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.

pengertian jinayat

A. Pengertian Jinayat
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta

Selasa, 12 Agustus 2008

ilmu dloruri dan ilmu muhtasab

Ilmu dhoruri adalah apa-apa yang pengetahuan tentangnya sudah di ketahui secara pasti, yaitu sudah pasti padanya tanpa butuh pemeriksaan dan pendalilan seperti ilmu tentang bahwa keseluruhan itu lebih besar dari pada sebagian, bahwa api itu panas, dan bahwa nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah utusan Allah subhanahu wata’ala

ILMU DLORURI
yaitu: ilmu yang masih bisa berubah hukumnya
asal kata: dlorro-yudlorru-dloriiron يضر
contoh kasus: babi haram, tetapi bisa menjadi halal bila dalam keadaan dlorurot.
dalil Naqli: Al Maidah 3
3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[394].. Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.

[395]. Maksudnya ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.

[396]. Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. Orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi.

[397]. Yang dimaksud dengan hari ialah: masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.

[398]. Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
Ilmu nadhori adalah apa-apa yang untuk mengetahuinya membutuhkan pemeriksaanb dan pendalilan, seperti pengetahuan tentang wajibnya niat dalam sholat .

ILMU MUHTASAB
yaitu: ilmu yang sudah baku hukumnya
asal kata: hasaba
contoh kasus: qishaash
Dalil naqli: Al An’am
Berlangganan: Posting (Atom)

Senin, 04 Agustus 2008

perbedaan ushul fiqh dan fiqih

Menurut pengertian para ulama , Ushul Fiqh adalah : “ Ilmu yang membahas tentang dalil- dalil fiqh secara global, tentang metodologi penggunaannya serta membahas tentang kondisi orang-orang yang menggunakannya . “
Dari pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa Ilmu Ushul Fiqh mempunyai tiga bidang garapan :
1. Dalil- dalil fiqh secara global ( Reverensi Penelitian )
2. Metodologi penggunaan dalil- dalil tersebut. ( Metodologi Penelitian )
3. Kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut, yaitu para mujtahid . ( Syarat-syarat Peneliti )
Kalau kita perhatikan secara seksama tiga bidang garapan tersebut, ternyata sesuai dengan kriteria yang ditawarkan oleh berbagai Lembaga Penelitian yang sedang merebak akhir-akhir ini . Hal ini menunjukkan bahwa para ulama Islam, jauh-jauh sebelumnya telah menyusun kajian yang sangat mendetail dan sistematis. Penelitian apapun, tidak bisa dipisahkan dengan tiga unsur di atas. Tak ayal, kalau sebagian ulama kontemporer menjadikan manhaj ushul fiqh sebagai pijakan di dalam menentukan manhaj-manhaj bagi disiplin keilmuan lainnya .
fiqh di atas adalah sebagai berikut :

( Ilmu yang membahas dalil- dalil fiqh secara global )
Ilmu Ushul Fiqh ini hanya membahas dalil-dalil fiqh secara global, seperti Al Qur’an dan Sunnah dengan berbagai permasalahan yang menyangkut dengan kedua sumber tersebut seperti : Al ‘Am, Al Khos, Al Mutlaq, Al Muqayad, Al Mujmal, Al Mubayin, Al Hakikah , Al Majaz dan lain-lainnya . Selain itu, ilmu ini juga membahas tentang Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama, yaitu Qaul Shohabi , Al Istishab, Al Istihsan, Sadd al-Dzara’idan Al Masholih al-Mursalah.
Adapun Ilmu Fiqh pembahasannya terfokus pada dalil-dalil syar’i secara lebih terperinci , seperti : kewajiban berniat ketika hendak berwudlu, dengan menggunakan dalil firman Allah swt :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
“ apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. “ ( Qs Al Maidah : 6 )
(Apabila kamu hendak ) menunjukkan bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :
إنما الأعمال بالنيات
“ Hanyasanya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat. “ ( HR Bukhari no : 1, Muslim no : 4844 )

Selain membahas dalil- dalil secara global, Ilmu Ushul Fiqh juga membahas tata cara penggunaan dalil- dalil tersebut.
Tata cara penggunaan dalil – dalil syar’I, bisa dibagi menjadi dua bagian :
Bagian pertama ; Yang bersifat “ Al lafdhi “ ( tekstual) , yaitu tata cara penggunaan dalil-dalil syar’I yang terkait dengan teks –teks Al Qur’an dan Sunnah . Tata cara ini bisa juga disebut dengan “ Al Ijtihad A-lBayani “ , seperti firman Allah swt :
وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ
“ Dan dirikanlah sholat “ ( QS Al An’am : 72 )
Perkataan “ Aqimuu “ menunjukkan perintah , dan perintah ini tidak terikat dengan unsur lain, di dalam kaedah ushul fiqh disebutkan bahwa “ suatu perintah pada dasarnya menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada hal-hal yang memalingkannya dari makna asli. “ . Dengan demikan kita mengetahui dari ayat di atas,bahwa sholat hukumnya wajib.

Bagian kedua : Yang bersifat “ Al-ma’nawy” ( substansial ), yaitu tata cara menggunakan dalil-dali syar’I dengan melihat subtansi atau pesan dari teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadist , kemudian pesan tersebut diterapkan pada masalah-masalah lain yang tidak tersebut di dalam teks. Bagian ini bisa disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Qiyasi “ . Tata cara ini dibagi menjadi tiga macam :
1/ Takhrij Al Manat , yaitu : mengeluarkan pesan atau alasan dari teks .
2 / Tanqih Al Manat , yaitu : menyeleksi alasan-alasan yang dikeluarkan dari teks dan mengambil yang paling sesuai.
3/ Tahqiq Al Manat : Menerapkan pesan atau alasan yang sudah terseleksi pada masalah-masalh yang tidak tersebut dalam teks.
( Membahas kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut )
Orang-orang yang menggunakan dalil- dalil tersebut adalah para mujtahid, yaitu orang yang mampu melakukan istinbath hukum dari dalil syar’I.
Ilmu Ushul Fiqh ini membahas juga pengertian ijtihad dan mujtahid, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk menjadi seorang mujtahid, tingkatan-tingkatan mujtahid, bentuk-bentuk ijtihad. Selain itu dibahas juga pengertian “ muqallid ‘’, yaitu seseorang yang belum mampu melakukan proses ijitihad secara sendiri, sehingga dia harus mengikuti perkataan mujtahid di dalam mengetahui hukum-hukum syar’I. Di dalamnya diterangkan juga tentang beberapa kondisi dimana seseorang dibolehkan bertaqlid. Berikutnya, dibahas juga pengertian ‘ talfiq ‘ , yaitu menggabungkan pendapat-pendapat di dalam berbagai madzhab dalam satu masalah atau lebih,kemudian diamalkan secara bersama .

Jika ada pertanyaan : “ Al Maqasid dan Al Maslahat “ , dua hal yang akhir-akhir ini sering dilirik oleh sebagian pemerhati syare’ah, apakah termasuk dalam bagian dari ilmu ushul fiqh ? Jawabannya bahwa Al Ilmu bil-Maqasid atau pengetahuan tentang tujuan diturunkan syare’ah oleh sebagain ulama dikatagorikan sebagai salah satu syarat ijitihad yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Namun mayoritas ulama menganggapnya sebagai syarat pelengkap saja, bukan syarat utama, karena maqashid syare’ah tidak bisa diketahui kecuali melalui teks-teks yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah . Ijitihad dengan menggunakan pertimbangan maslahat bisa disebut dengan “ Al Ijtihad Al Maqasidy “
(Adapun Maslahat, atau Mashalih Mursalah ) adalah dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama, walaupun pada hakekatnya mereka menyepakati bahwa maslahat yang masih dalam koridor sayre’ah bisa dipakai sebagai pembantu di dalam menentukan hukum dalam suatu masalah. Dan itu semua kembalinya kepada pemahaman terhadap teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Ijtihad dengan menggunakan koridor maslahat disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Istislahy “
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan, bahwa seluruh proses ijtihad atau pengambilan hukum tidak bisa dilepaskan dari pemahaman kita terhadap teks-teks Al Qur’an dan As Sunnah yang keduanya menggunakan Bahasa Arab.
Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah dalam teks-teks tersebut. Kaidah-kaidah tersebut didasarkan pada kaidah Bahasa Arab. Kaidah semacam ini sudah baku dan telah disepakati oleh para ulama, walaupun terdapat perbedaan di dalam beberapa masalah. Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi seseorang yang tidak memahami Bahasa Arab dan tidak mengerti kaidah-kaidah di dalam ushul fiqh untuk berijtihad, karena dia tidak memiliki sarana dan alat untuk bekerja. Tidak diperkenankan juga, bagi setiap orang untuk merubah kaidah-kaidah tersebut, tanpa menyertakan alasan-alasan yang ilmiyah dan bisa dipertanggung jawabkan menurut disiplin keilmuan yang ada.

Sebagian ulama membatasi pengertian Ilmu Fiqh pada masalah-masalah yang bisa dijadikan obyek proses ijtihad, yaitu masalah-masalah yang masih diperselisihkan para ulama, seperti kewajiban membaca sholawat pada tasyahud akhir ketika sholat, kewajiban berniat ketika berwudlu, dan lain-lainnya.
Para ulama menyebutkan cara-cara untuk mengetahui “ Maqasid Syare’ah “ diantaranya adalah : 1/ mengadakan pembacaan yang utuh dan menyeluruh terhadap pesan-pesan yang terkandung dalam teks-teks Al Qur’an dan As Sunnah, berikut alasan -alasannya, 2/ memahami bahasa Arab dengan baik, 3/ memahami alur pembicaraan yang terdapat di dalam teks, 4/ mengikuti pemahaman para sahabat, karena mereka hidup bersama wahyu . 5/ mengetahui masalah-masalah yang tidak disinggung oleh wahyu baik secara langsung , maupun tidak langung .
Adapun pengertian Masholih Mursalah, secara terminologi , para ulama ushul fikih masih berselisih pendapat di dalamnya , salah satu pengertian yang terkenal adalah : “ Setiap manfaat yang berada dalam kerangka maqasid syari’ah, tanpa ada dalil yang membenarkannya atau yang menyalahkannya .“


Entri Tersimpan
Tanggal Tulisan :
Maret 15, 2007 at 7:20 am
Kategori :
Ushul Fiqh
Lakukan Lebih Lanjut :
You can leave a response, or trackback from your own site.